Sebuah fenomena dalam dunia pendidikan saat ini adalah adanya kesenjangan
antara SMK dan SMA. Betapa tidak membuat ciut hati para pengelola SMA swasta beserta
guru-gurunya melihat dan membayangkan “madesu” alias masa depan suram SMA. Dari
sisi lain, fenomena itu justru sebagai angin segar yang menyejukkan hati para
pengelola SMK swasta dan para gurunya. Mengapa fenomena pendidikan yang
mengarah kepada kesenjangan itu bisa sampai terjadi?
Secara umum, sekolah menengah di Indonesia diwadahi tiga lembaga yakni SMA (Sekolah Menengah Atas), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan MA ( Madrasah Aliyah). Ada perbandingan yang signifikan antara keduanya dalam teori, tetapi pada praktiknya tidak ada pembatas yang tegas antara keduanya. Berdasarkan sumber dari internet yang sudah beredar di masyarakat, perbandingan itu terlihat sebagai berikut.
Secara umum, sekolah menengah di Indonesia diwadahi tiga lembaga yakni SMA (Sekolah Menengah Atas), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan MA ( Madrasah Aliyah). Ada perbandingan yang signifikan antara keduanya dalam teori, tetapi pada praktiknya tidak ada pembatas yang tegas antara keduanya. Berdasarkan sumber dari internet yang sudah beredar di masyarakat, perbandingan itu terlihat sebagai berikut.
SMA
|
SMK
|
Ditujukan untuk siswa yang akan
melanjutkan ke Perguruan Tinggi
|
Ditujukan untuk siswa yang mau
bekerja dan melanjutkan ke perguruan
tinggi
|
Kurikulum SMA lebih banyak teori dari pada praktek
|
Kurikulum SMK lebih banyak praktek dari pada teori
|
Tamatannya tidak siap kerja dan tidak
mandiri
|
Tamatannya siap kerja dan mandiri
|
Tempat belajar hanya di sekolah
|
Tempat belajar di sekolah dan dunia kerja
|
Melihat data perbedaan di atas, jelas terlihat bahwa SMK
terkesan lebih menjanjikan masa depan dibanding SMA. Menurut sumber tersebut,
alasannya adalah
1.
Kondisi perekonomian Indonesia
yang belum bagus.
Solusi
untuk mengatasi keadaan tersebut adalah dengan menyekolahkan anak di sekolah
yang lulusannya cepat dapat kerja tetapi tidak membutuhkan waktu lama. Sekolah
tersebut adalah SMK karena hanya butuh waktu 3 tahun untuk dapat bekerja atau
berwiramandiri. Sementara jika mengambil sekolah di SMA butuh waktu 8 tahun
untuk dapat bekerja yakni 3 tahun di SMA dan 5 tahun di PT.
2. Banyak lulusan SMA yang tidak melanjutkan kuliah di Perguruan
Tinggi
Kurang dari 10 % lulusan SMA yang melanjukan kuliah di PT, padahal kurikulum SMA disetting untuk melanjutkan sekolah di PT. Ini tentu sangat ironis karena hampir 90% tamatan SMA terjun di dunia kerja padahal kurikulum SMA tidak disiapkan untuk bekerja. Akibatnya banyak lulusan SMA yang kalah bersaing dalam mencari pekerjaan karena mereka memang tidak siap kerja. Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menambah jumlah SMK daripada mengembangkan SMA. Komposisi perbandingan yang dibuat adalah 70% SMK dan 30% SMA. Ini tentu dengan tujuan untuk menjadikan lulusan sekolah menengah yang siap kerja dan mandiri.
Kurang dari 10 % lulusan SMA yang melanjukan kuliah di PT, padahal kurikulum SMA disetting untuk melanjutkan sekolah di PT. Ini tentu sangat ironis karena hampir 90% tamatan SMA terjun di dunia kerja padahal kurikulum SMA tidak disiapkan untuk bekerja. Akibatnya banyak lulusan SMA yang kalah bersaing dalam mencari pekerjaan karena mereka memang tidak siap kerja. Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menambah jumlah SMK daripada mengembangkan SMA. Komposisi perbandingan yang dibuat adalah 70% SMK dan 30% SMA. Ini tentu dengan tujuan untuk menjadikan lulusan sekolah menengah yang siap kerja dan mandiri.
3. Dunia kerja yang semakin kompetitif
Kenaikan BBM menyebabkan banyak perusahaan yang mengurangi jumlah karyawan sehingga terjadi PHK besar-besaran. Kondisi ini meyebabkan para pencari kerja semakin banyak sementara lowongan kerja semakin sedikit sehingga persaingan dalam memperebutkan lowongan pekerjaan semakin ketat. Ketatnya persaingan mencari kerja menjadikan tamatan sekolah menengah harus orang yang kompeten di bidangnya dan siap kerja. SMK sangat piawai dalam mencetak lulusan yang siap kerja dibanding SMA.
Kenaikan BBM menyebabkan banyak perusahaan yang mengurangi jumlah karyawan sehingga terjadi PHK besar-besaran. Kondisi ini meyebabkan para pencari kerja semakin banyak sementara lowongan kerja semakin sedikit sehingga persaingan dalam memperebutkan lowongan pekerjaan semakin ketat. Ketatnya persaingan mencari kerja menjadikan tamatan sekolah menengah harus orang yang kompeten di bidangnya dan siap kerja. SMK sangat piawai dalam mencetak lulusan yang siap kerja dibanding SMA.
Kalau kita dihadapkan pada sebuah realita
dalam masyarakat, tidak sepenuhnya alasan meggelembungnya SMK itu benar.
Kenyataan berbicara bahwa tidak sedikit para lulusan SMA yang berkompeten di
dunia kerja. Pemikiran-pemikiran di atas telah meracuni masyarakat akan
keberadaan SMA menuju masa depan. Tidakkah terpikir lembaga pendidikan SMA
terutama yang swasta ini hanya mengais dari sisa-sisa sekolah negeri? Akibat
gencarnya iklan di media massa, keberadaan SMA swasta semakin tersudut dan nyaris
tertendang dari dunia pendidikan. Realitanya saat ini siswa SMA swasta
mengalami penurunan yang sangat drastis. Sungguh sebuah pukulan yang
menyakitkan. Sebuah ironi berkepanjangan bagi pengelola dan guru-guru SMA
swasta.
Terhadap
kondisi di atas, mari kita membuka pikiran kita untuk menganalisis isi UU
Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Bab III pasal 4 (1) juga
dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dari dua pasal saja sudah kita
temukan bentuk perlakuan diskriminatif antara SMA dan SMK. Hal ini sangat
bertentangan dengan pasal di atas yang menyebutkan “tidak diskriminatif”. Menurut
arti leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah perbedaan
perlakuan terhadap sesama warga negara.
Perbandingan SMK dan SMA, yang menurut informasi 70% : 30% kemudian
beredar lagi informasi 55% : 45%, jelas sudah merupakan bentuk diskriminasi.
Ditambah dengan fasilitas promosi di media massa tentang berkualitasnya para
alumni SMK dari tingkat rumah tangga sampai ke tingkat pemerintahan membuat
semakin terpuruknya keberadaan SMA, terutama SMA swasta.
Kenyataan seperti saat ini semakin
membuat kekhawatiran akan eksistensi SMA swasta, terutama SMA swasta daerah
pinggiran,. Kenyataannya, saat ini masyarakat sudah termakan persuasi iklan
yang jelas-jelas meragukan kompetensi lulusan SMA. Apakah kita sebagai
masyarakat dan sebagai warga negara tetap berdiam diri? Kitalah pelaku evaluasi
pendidikan.
Dalam pasal 6 juga dijelaskan
bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan. Bab I (27) Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang
mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Jadi, kita
sebagai warga negara berhak untuk mengadakan evaluasi pendidikan di Indonesia..
Bab III pasal 8 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan.
Makna evalusi pendidikan dijelaskan dalam Bab I
(21) Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan
penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan. Pengelola SMA swasta dan guru-gurunya pun berhak
melakukan evaluasi pendidikan demi tetap eksisnya lembaga pendidikan SMA swasta,
terutama yang berada di daerah pinggiran. Pasal 11 (1) menjanjikan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Jika pemerintah sudah menjanjikan
adanya perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi seperti yang tertuang
dalam UU Sisdknas Nomor 3 Tahun 2003 sebagai dasar hukum pendidikan di
Indonesia, sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi rencana-rencana yang
membuat kesenjangan dengan membandingkan antara SMK dan SMA. Pemerintah wajib
mengembalikan citra positif SMA di masyarakat. Dengan fasilitas media massa
seperti yang dilakukan untuk mempromosikan SMK, SMA (terutama yang swasta) akan
kembali meraih pengakuan masyarakat. SMK dan SMA harus seiring sejalan untuk ikut membawa bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang tangguh di kancah internasional.
Sebagai penutup, mari kita kaji
isi UU Sisdiknas diktum Menimbang (c)
bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan
untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan. Semoga pemerintah segera melakukan
evaluasi dan pembaharuan pendidikan!
Penulis: Maria Ulfah, S.Pd.
adalah Kepala SMA
Pancasila Mojowarno
dan Pengajar
Bahasa Indonesia di SMANBareng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar